IA, TITIK DAN KOMA
Ia tahu, tanpa titik sebuah kalimat tak kan pernah usai, ia
pun tahu, tanpa koma sebuah frasa tak kan pernah tercipta. Maka, ia coba
sematkan jari-jemarinya di sela-sela kata, di sisi ruang berongga yang tak diisi oleh titik dan koma.
Dengan sumringahnya yang berpeluh, terus saja menetes pada
hamparan putih itu. Menghasilkan sebuah pulau-pulau baru yang basah. Ia menjadi
panik, namun bukan lantaran pulau-pulau. Sebab, jemari lentiknya tak lagi cukup
menutup sisi-sisi yang berlubang itu. Padahal ia sangat hendak bergelora ria
bersama lembaran-lembaran pinusnya.
Ia berpikir keras, hingga mata bundarnya menangkap sesuatu
di pojok angan. Jangan anggap itu sebuah kenangan. Sejatinya, semua itu telah tertata rapi di rak-rak yang lain.
Dengan sigap, jemari kakinya meraih lembaran lain dari
mahoni yang terletak di sebelah kantong tisu basah. Kecermatan sangat
dibutuhkan setelahnya, antara pinus dan mahoni tak sama layaknya titik dan koma.
Tingkat kesulitannya sangat jauh berbeda, bagai menggabungkan antara dua unsur yang
bertolak belakang.
Namun, asanya berhasil membujuk waktu tuk bersenja sejenak
di bibir pantai khayalan. Yang menjadikan semua -rampung- pada waktunya.
Kini, pinus dan mahoni sungguh berbeda [dalam artian berbeda], tak tampak serupa dengan ketika ia memandang titik dan koma kala itu. “Serupa namun tak sama..” begitulah lebih tepatnya.
Apapun jua, denting jam klasik gemar mengusik, selamanya mereka
berdua kan ada di senyum abadinya. Ia percaya, penyekat diantara mereka kan terhapus di
lain masa. Juga bilik-bilik yang meresahkan itu. Ia harap meroboh sajalah hingga
luluh-lantak. Agar semata mereka dapat tinggal dalam satu atap di
pekarangan miliknya, yang baru saja tadi tercipta dari pinus dan mahoni.
Maka, setelah semuanya usai, jeda menghantarkan cahaya tiba seketika, kepalanya bersinar, sehingga ia berani
mengambil kesimpulkan bahwa, "jika A berjauhan dengan Z, maka biarlah titik dan koma yang
mempertemukannya".
Kairo, 17 Mei 2017
Komentar