MELODY (Cerpen)
Aku menengok keluar jendela, siang ini tak
begitu terik, aku pun bergegas bersiap diri untuk berangkat. Kupilih pakaian
paling santai; kaos putih lengan pendek, dengan rompi hitam yang necis, serta
celana levi’s hitam 3/4. Setelah memakai sepatu, kuraih tas selempang
abu-abuku yang tergantung di dinding kamar. Sejenak kucek kembali beberapa isi
di dalamnya, tampaknya tak ada yang terlupakan. Semua telah kusiapkan tadi
malam, beberapa peralatan yang harus kubawa. Tak lupa pula satu alat pentingku,
electric guitar merek Fender berjenis stratocaster berwarna
biru, dengan corak hitam legam di bagian body pick up-nya. Kumasukan ia
ke hardcase-nya dan siap untuk kubawa. Flatku ada di lantai bagian
paling atas, jadi kupilih lift untuk turun ke garasi.
Siang ini hingga menjelang petang, aku ada
jadwal latihan dengan sebuah grup oriental jazz orchestra. Awalnya aku
menolak untuk bergabung. Sebab, begitu berat rasanya untuk memulai bermusik
kembali setelah sekian lama. Namun, karena kawan lamaku yang memintanya,
kusanggupi dengan berat hati. Keberatan hatiku pun beralasan dan aku tak ingin
memberi tahukannya pada kawanku tentang itu. Walau begitu, agaknya ia telah
mengerti alasannya, namun tetap saja, ia terus memaksa diriku agar mau tampil
di pagelaran seni musik miliknya.
Kuhela nafas panjang, agaknya itu sedikit
mengurangi beban kedua kakiku untuk melangkah. Setelah keluar dari lift,
aku menuju tempat dimana mobil blue cooper mini-ku terparkir. Sesampainya
di hadapan pintu mobil, kurogoh saku kecil di bagian kanan tas selempang, mengambil
kunci mobil, membuka deck lid, kemudian kuletakkan gitarku di dalamnya,
lalu masuk ke dalam mobil dan segera melesat menuju tempat latihan.
Selama di perjalanan, mulailah bayang itu
menghampiri sekelibat, aku coba tak menggubrisnya. Namun, semakin aku menolak,
semakin ia mencekik bagian rongga terdasar hati, hingga menjerit, hendak
melepaskan diri dari belenggu kenangan yang mustahil dilupakan. Aku kembali
mencoba menghela nafas panjang, berharap beberapa kenangan itu dapat sedikit berdamai
dengan hati.
Sesampainya di tempat latihan, aku bertemu
dengan beberapa kawan, merampungkan latihan beberapa part melody bar, lalu
langsung bergegas pulang. Sebetulnya bukan karena enggan berlama-lama di tempat
latihan, tapi aku hanya ingin menyendiri saja hari ini. Dalam perjalanan
pulang, aku tak begitu terlalu terburu-buru, kutancap gas mobil hanya dengan kecepatan
30 km/h. Setidaknya tembang -el reda wel nour- milik penyanyi
legenda Umm Kulthum yang kusetel di dalam mobil, dapat menghanyutkanku
dalam hela kenangan yang harusnya telah tertata rapi di rak album masa lalu.
Tak terasa, aku sudah sampai dekat apartemenku,
segera kuparkir mobil di garasi dan naik ke atas lewat lift menuju flatku.
Kurebahkan sejenak tubuh ini, menatap dinding-dinding langit, lalu tanganku
mulai berusaha menggapainya, seakan jauh sekali, ia tak dapat kuraih.
“kamu dimana... kamu
dimana...”.
Aku tiba-tiba terbangun, ruangan begitu
gelap, kutengok jendela, ternyata hari sudah malam. Sepertinya tubuhku masih
terasa lelah, badanku pegal-pegal, mungkin sebab itu tak terasa aku ketiduran
hingga larut. Namun, kuingat-ingat kembali, suara itu, sayup-sayup di dalam
mimpiku tadi, yang membuatku tiba-tiba terbangun. Aku sangat mengenali suara
itu, begitu pula dengan segala kenangannya. Semakin ia hadir, semakin tampak
nyata rasa penyesalan.
Kucoba tak menghiraukan. Lebih baik aku
membersihkan diri, kuraih handuk dan pergi ke kamar mandi. Selesai mandi,
sepertinya pergi ke café seberang jalan adalah pilihan yang tepat untuk
sedikit membunuh rasa penat. Kutengok jam di dinding, jarum jam telah
menunjukan pukul 11.47 pm dan jam segini biasanya café seberang
jalan belum tutup. Ternyata benar, kutengok jendela, terlihat dari seberang
jalan, café yang kumaksud belum tutup, Sesampainya di sana, aku
memilih kursi di sebelah pojok lalu memesan secangkir teh panas dan satu buah shisha.
Sambil mengutak-atik ponselku, kutemani malam yang berlalu begitu lambat ini dengan
asap-asap shisha. Hangatnya aroma teh pun serasa telah membakar sebagian
keterjenuhanku pada takdir. Malam ini, kepulan asap shisha-ku hendak
membayar semua hutang memori di album masa lalu, hingga lunas tuntas. Kuharap
tak ada lagi bayang itu di tagihan mimpiku.
***
5 tahun yang lalu…
Kakiku melangkah menuju gedung berwarna kuning
itu, membuka gerbang lalu menuju pintu yang ada di seberangnya. Pintu itu
bertuliskan ‘Studio 12 el Ganoeby’, kutekan bel pintunya beberapa kali,
tak lama ada yang membukakannya dari dalam.
“Yalla ya Zizou!”, ucap seorang lelaki paruh baya, yang tak lain adalah pemilik studio ini, sekaligus produser rekaman band kami, Ahmed namanya.
“Asif ya hag, saya tadi terkena macet di jalan”.
Aku segera menuju ke dalam studio, di dalam
ternyata sudah banyak kawan-kawan yang menungguku.
“Ma’lesh ya gamaa… biasa, ada hambatan di jalan tadi”, aku lambaikan tangan menyapa semua kawan-kawanku.
“Hambatan apa ya Zizou? Hambatan digoda tante-tante”, salah satu kawan menyela, membuat kami tertawa.
Begitulah kami, lima orang pemuda penyuka
musik jazz tergabung dalam satu band. Kami memutuskan untuk membentuk
sebuah band dari semenjak kami masih duduk di bangku el senewy. Sudah
banyak cerita dan hal-hal yang kami lalui bersama, dari mulai konflik pribadi
antar personel, hingga pernah hengkangnya sang vokalis, namun kemudian ia
memutuskan untuk kembali bersama kami lagi. Seperti inilah kami berlima, hingga
akhirnya band ini bisa berada di puncak karier.
Siang ini, kami ada latihan untuk rekaman
album ketiga. Karena aku satu-satunya gitaris di band ini, maka aku
harus dua kali kerja ekstra lebih, mengulik part rhythm dan melody
sendiri semalaman, tentunya dengan bimbingan produser kami, Ahmed. Namun
ada yang aneh, aku baru tersadar kalau semenjak tadi di ruangan studio ini, ada
seorang gadis berjilbab biru yang duduk di sofa kecil pojok dekat keyboard, ia
tampak tengah sibuk men-tuning violin yang dipegangnya. Aku coba
berbisik-bisik pada kawanku bassist yang berdiri di sebelahku.
“Ssstt.. ya Hamada, siapa gadis yang duduk di sofa itu?”.
“Oh, namanya Ameera, dia dari grup cairo classical orchestra yang akan mengisi beberapa part melody violin di album kita”.
“Oohh..”, aku mengangguk paham.
Aku hampir lupa, kalau ternyata salah satu
lagu di album kami, memang membutuhkan sentuhan suara melodi dari alat musik
violin. Lebih tepatnya, menyisipkan beberapa part melody di lagu
tersebut agar lebih terdengar smooth. Aku jadi penasaran, bagaimana
permainan violin si gadis jilbab biru itu, apakah melodi gitarku dapat
singkron dengannya.
“Yalla ya shabab.. kita mulai latihannya”, Ahmed menyeru dari balik kaca control room yang terdengar di speaker sound studio.
Kurang lebih enam jam setengah kami latihan
sekaligus rekaman, akhirnya rampung juga tiga lagu untuk album ini. Padahal
masih kurang empat lagu lagi, tapi serasa urat kepalaku hendak putus. Wajar
saja, band kami pada tahun kemarin sempat vakum, karena kawan kami Salah sang drummer
harus menyelesaikan studi akhirnya di universitas, jadi mau tidak mau dia harus
fokus pada tahun itu. Dan kami tidak berniat untuk mencari additional player
drummer untuk menggantikannya, walau hanya untuk sementara waktu. Sebab
itulah aku sudah jarang menciptakan lagu, sekalinya membuat lagu, jari-jemariku
yang biasa memetik gitar, serasa kaku. Ibarat sebuah kendaraan sport
yang sudah lama tak pernah diberi pelumas, kemudian langsung dibawa ke medan
terjal, jadi pasti tersendat-sendat lajunya.
Semua sudah berkemas untuk pulang, pula
diriku. Aku bersama kawan-kawan berjalan menuju ke tempat parkir, lalu mereka
masuk ke dalam mobil mereka masing-masing, dan melesat terlebih dahulu. Ketika
aku baru membuka pintu mobil, Ahmed memanggilku.
“Ya
Zizou..!”.
“Fie
eih ya hag..?”, aku menjawabnya. Ku lihat Ahmed berdiri bersama gadis
violin tadi.
“Ta’ala
ya Zizou..”, Ahmed menyuruhku menghampirinya. Ku tutup pintu mobil
lalu melangkah menghampirinya.
“Tolong
antarkan Ameera pulang, kasihan jika dia harus mencari angkutan umum
malam-malam seperti ini”.
“Kau
kan pulang menuju el mouif ashir, mampirlah sebentar di awwel makram,
rumah Ameera di kawasan dekat-dekat situ”. Ahmed melanjutkan perkataannya.
“Meshi
ya hag, wa la yahmak”, ku sanggupi permintaan Ahmed dan kembali menuju
tempat parkir lalu masuk terlebih dahulu ke dalam mobil.
Ku lihat gadis itu berpamitan terlebih
dahulu pada Ahmed kemudian menghampiri mobilku. Lalu membuka pintu mobil bagian
depan sebelah kanan, mengucapkan salam dan duduk. Lebih baik kubuka percakapan
perkenalan dengannya, agar tak tercipta suasana canggung nantinya.
“Hmm..
sepertinya kita belum berkenalan, namaku..”. Sambil menyalakan mobil, memasukan
gigi satu, lalu melaju, ku coba memulai percakapan dengan gadis ini.
“..Zizou”,
segera ia menjawab sebelum aku sempat melengkapi kalimatku, ternyata gadis ini
sudah tahu namaku.
“Lebih
tepatnya Mohamed Zein el Din Zeidan kan?” ia melanjutkan kalimatnya.
“Tepat
sekali!, darimana kamu tahu?”.
“Dari
buku catalog; egypt band yang tersimpan di rak buku control room. Di
situ tertera namamu dan bandmu. Kan terkesan tak elok jikalau aku berkolaborasi
dengan sebuah band ternama, namun tak mengenal orang-orangnya”.
“Ooh..
meshi meshi “, aku mengangguk tertawa.
“Sepertinya
kamu cukup terkenal ya Zizou..”, sepertinya ia memujiku.
“Ah..
biasa saja”.
“Namaku
Ameera, Ameera el Noura..”, ia memperkenalkan dirinya.
“Ok,
nice to meet you ya Ameera..”, ku pikir ini awal perkenalan yang cukup
menyenangkan.
“Nice
to meet you..”, ia tersenyum menjawab.
Lama
keheningan memecah, ku coba memulai percakapan kembali.
“ala
fekrah.. aku juga tahu loh, kalau kamu dari grup cairo classical
orchestra”.
“Ya,
betul sekali!, darimana kamu tahu?, pastinya bukan dari buku catalog kan?,
aku tak seterkenal kalian loh!”.
“Aku
tahu dari ibumu”.
“Hah..?!,
wallahi..?!”, ia tampak terkejut, padahal aku hanya bercanda.
“Iya,
benar!”, aku mengangguk padanya, sambil pura-pura menunjukan ekspresi wajah
serius.
“Sejak kapan kamu mengenal ibuku?”, ia
benar-benar penasaran.
“Sejak
kapan ya.. hmm..”, aku pura-pura mengingat-ingat.
Ku lirik, ia tampak menatapku penasaran, aku
coba menahan tawa melihat raut wajahnya seperti itu. Beberapa detik, akhirnya
aku tak kuat menahan tawa. Ia tampak heran, membuatku semakin geli.
“Wajahmu
serius sekali Ameera..!”.
“Ah,
pasti kamu berbohong ya?, sudah ku duga..”.
“Habisnya,
kau percaya saja. Ekspresi seriusmu itu loh yang membuatku tertawa”.
“Iya,
sudah kuduga, tak mungkin kamu mengenal ibuku. Beliau sudah tenang berada di
alam sana”.
Aku langsung mengehentikan tawa, melihat
wajahnya menatap ke depan yang tampak menyiratkan kesedihan.
“Asif
asif ya Ameera, aku tak bermaksud menyinggungmu..”, aku jadi tak enak hati,
merasa bersalah sudah membuat lelucon konyol seperti itu.
“mefiesh
mushkela ya Zizou, santai saja, tak perlu minta maaf. Kan hanya bercanda..”,
ia tampak tersenyum.
“Shukran..”,
ah dasar diriku, kenapa seperti ini. Sekarang aku menyetir dalam keadaan
canggung. Lagi-lagi keheningan memecah. Ameera hanya menatap lurus ke depan.
Aku coba menghela nafas.
“Hmm..
ala fekrah, kamu lapar tidak? Mumpung belum terlalu malam, di dekat-dekat
sini ada restaurant seafood yang lumayan enak rasanya. Santai saja,
nanti aku yang traktir”.
Tampak
ia berpikir cukup lama.
“Ok,
boleh..”, akhirnya ia mengangguk setuju.
Selama di dalam restaurant ia
menceritakan perihal keluarganya. Ia berkata bahwa ibunya telah tiada semenjak
ia duduk di bangku el ebtedaa. Sekarang ia tinggal bersama ayah, kakak
dan adiknya. Ia pun menceritakan mengapa ia begitu menyukai alat musik violin
dan memutuskan bergabung dengan grup cairo classical orchestra.
Setelah selesai, kuantarkan ia sampai pintu
gerbang rumahnya. Wajahnya kembali ceria, tak seperti tadi sebelum kami singgah
ke restaurant. Perkenalan yang berkesan, begitu menurutku, ku kira ia
pun juga berpikir demikian.
***
Hari ini, hari penampilanku bersama grup oriental
jazz orchestra. Aku baru tiba di gedung opera. Kulihat stage untuk
grup kami lumayan besar, cukup untuk menampung puluhan orang. Aku segera menuju
backstage, membuka hardcase guitar lalu mengecek beberapa tune snare guitar.
“Ya Zizou.. amel eih ya
habiby..?”, seseorang tiba-tiba masuk ke backstage lalu menyapaku.
Ternyata kawan lamaku, orang dari pemilik hajat acara ini, sekaligus pianist
di grup oriental jazz orchestra ini. Namanya Sabry.
“Ameil eih ya basha,
kollo tamam?” ia memelukku.
“Hamdellah, kollo
tamam..”, ku jawab, lalu ia menepuk-nepuk kedua pundakku.
“Meshi.. bagaimana?
kau sudah siap?”. Ia bertanya kembali.
“Inshaallah..”. Ku
jawab mantap.
“Yang terpenting saat di
atas nanti kau mainnya enjoy!”.
“Itu sudah pasti ya
sahby”.
“Ok.. buss ya Zizou,
kau masih ingat kan beberapa part di bagian bar tertentu kita
akan mencoba merubah sedikit ritme?”. Sambil membuka buku partitur yang
dibawanya.
“Warriny baah..”,
aku mendekat, ia menunjuk bar tertentu di halaman ke tujuh.
“Oohh.. meshi meshi ana
fahim, di lagu Helwa Ya Balady, mulai dari bar keempat bagian
pertengahan di part melody pertama, chord-nya diganti
dengan e7sus4 kan?”.
“Meiya meiya ya
habiby..”, kami berdua pun tertawa bersama sambil bertepuk jabat.
Pada saat acara berlangsung, semua berjalan
lancar. Bersyukur tak ada kendala teknisi apapun. Penampilanku pun dianggap
memukau penonton. Selesai permberian penghargaan di atas panggung. Aku segera
kembali ke backstage dan membereskan beberapa peralatanku. Aku
berpamitan kepada kawan-kawan, berterima kasih dan langsung tancap gas pulang
ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku rebahkan sejenak
tubuhku. Aku tersenyum cukup puas dengan penampilan solo guitar-ku tadi.
Namun, tiba-tiba tanpa diundang, bayang itu mulai lagi menghampiri, suara itu, melody
itu. Dadaku pun tiba-tiba sesak, air mata tak dapat terbendung. Untuk kesekian
kalinya, aku menangis sendiri lagi.
Aku tersungkup, untuk kali ini aku ingin
menangis sejadi-jadinya. Tak peduli dengan ucapan ‘Apapun yang terjadi, laki-laki
tak boleh menangis’. Bagiku, menangis atau tidak, semua sama saja, tidak
akan ada yang kembali seperti semula.
“kamu dimana... kamu
dimana...”.
***
2 tahun yang lalu…
Aku dan dia menikmatinya. Di bibir pantai
Alexandria, di café bersama senja dengan jingganya yang semakin
menghangatkan kami. Tertawa bersama, berbagi kisah, mengalunkan melodi di
tiap-tiap serat nilon dari gesekan violinnya dan petikan gitarku.
Lalu, usai jeda, wajahnya merona. Ku tatap
dalam-dalam. Hari ini sungguh mendebarkan. Ia tak tahu diriku telah
mempersiapkan kejutan. Aku hendak meminangnya.
“Ameera, kamu tahu tidak?,
ibuku tadi pagi menelpon, beliau berkata bahwa usiaku sudah 29 tahun, aku pun
terkekeh”.
“Lalu..?”, ia
mengernyitkan keningnya.
“Iya.. aku terus saja
terkekeh”.
“Mengapa..?”.
“Kamu tidak tahu
mengapa?”.
Ia menggelengkan kepala.
“Sebab, aku berkata
padanya bahwa aku akan meminang seorang gadis..”.
“Oh yaa..?”, ia palingkan
wajah ke arah violinnya, yang diletakan di sebelah kursi duduknya.
“Iya..”, aku mengangguk
kecil.
“Hmm.. siapa gadis
itu?”, jari-jemarinya membersihkan debu di sela-sela kayu di bawah snare
violinnya, yang sebetulnya sudah tampak mengkilat. Aku tahu, ia hanya salah
tingkah.
Beberapa saat kemudian, pelayan yang telah
kutitipkan pesan sebelumnya, datang membawa sebuah bingkisan lalu
menyerahkannya kepada Ameera. Ameera tampak heran. Ia bertanya pada pelayan
tersebut, “apa ini..?”. Pelayan tersebut tidak menjawab dan langsung pergi.
Perasaanku sungguh terperangah. Sebab,
semenit kemudian Ameera telah mengangguk setuju, usai membuka bingkisan
tersebut dan membaca kertas kecil di dalamnya lalu menemukan sebuah kotak kecil
berisi dua buah cincin.
Lengkap sudah kebahagianku. Ibu tak lagi
harus cemas tentang umur dan tentang kawan hidup. Sebab, Ameera akan
melengkapinya. Melengkapiku dan keluargaku.
Bulan depan adalah waktu yang tepat untuk
melaksanakan akad. Tiga tahun lamanya sudah cukup memantapkan hatiku pada dirinya.
Mengawali segalanya dari nada-nada, juga rasa. Bertukar emosi, kasih dan
melodi. Aku yang akan merasakan bersamanya segala itu semua di kemudian hari,
yang serasa bagai diri ini dilahirkan kembali. Ia serupa jangkar jarum jam yang
mengulur halus lalu berdenting tepat pada waktunya.
Maka di hari itu mataku manatapnya lebih
dalam, lebih dari yang selama ini kupersembahkan. Genggamanku lebih erat,
seerat kala harmonisasi nada-nada kami senandungkan lewat alunan melodi violinnya
dan gitarku. Jemarinya yang lentik kusambut lembut, lingkaran berlian kuhiaskan
ke jari manisnya. Apalagi yang diharapkan seorang pengelana kalau bukan sebuah
danau kecil di tengah hamparan padang pasir. Dan kini danau itu telah
kutemukan.
Waktu demi waktu telah berlalu, semenjak
detik itu, diriku bersamanya telah melalui berbagai rintangan dalam kehidupan.
Harapan satu persatu telah terkabul. Baginya, diriku adalah sosok yang ia
kagumi. Katanya, aku selalu sanggup menghadapi sifatnya yang terkadang masih
labil. Seperti pula halnya akhir-akhir ini. Bayangkan saja, bisa di pastikan, tiap
hari ia terus memaksaku mengajaknya pergi untuk check up ke klinik bidan.
“Habiby.. Ayo kita
berangkat..”, ia berkata padaku sambil menyiap-nyiapkan tas ransel di atas meja
ruang televisi.
Aku pun yang tengah asyik
menonton televisi, terpaksa berdiri malas dan menghampirinya.
“Habibty.. Kemarin
kan kita sudah kesana dua kali dan hasilnya tetap negatif..!”, aku pegang kedua
pundaknya dari belakang.
“Ya.. tapi toh tak ada
salahnya kita coba cek lagi!”, ia tetap bersiap-siap dan aku, mau tidak mau
harus menuruti keinginannya, seperti hari-hari sebelumnya. Kalau tidak, ia akan
ngambek, menutup pintu kamar dengan keras, melempar bantal ke arahku,
lalu sofalah yang akan menjadi teman tidurku.
Sudah dua tahun lamanya aku bersama Ameera.
Ia mulai dirundung gelisah. Sebab, tak kunjung ada tanda-tanda mengandung. Aku
sendiri sebetulnya tak pernah merasa terbebani akan hal itu. Namun, aku
mengerti perasaan seorang istri jika mengalami hal demikian. Mungkin, ia merasa
aku akan kecewa karena ia tak bisa memberiku keturunan.
Lambat laun gelisah itu berubah menjadi
sifat temperamental buruk yang berlebihan. Ia sering menangis keras,
marah-marah tak jelas padaku lalu mengurung diri di kamar. Aku sudah coba
berulang kali meyakinkan dirinya bahwa, dengan ada atau tidak adanya buah hati
di tengah-tengah kami, itu tidak akan merubah apapun, semua akan baik-baik
saja. Tiga bulan berlalu seperti ini. Ia mulai tak mau mendengarkanku, aku pun
mulai tak tahan menghadapi sifatnya. Lama ia mengurung diri di kamar, tiap kali
itu aku memutuskan pergi menyendiri ke café pinggir sungai nil. Namun, berlama-lama
di café membuatku sadar, aku tak boleh seperti ini, aku harus
tetap sabar menghadapinya.
Dan akhirnya, pada satu titik dimana ia
mulai sadar kalau perilakunya selama beberapa bulan belakangan, itu salah. Ia
mulai menghadap diriku dan meminta maaf dengan wajahnya yang masih sembap.
Melihat itu aku pun tak tega, kupeluk ia erat dan tetap meyakinkan dirinya
bahwa semua akan baik-baik saja.
Hari demi hari perilakunya berangsur membaik,
aku bersyukur ia tak lagi mengurung diri di kamar. Ia mulai lagi menyiapkan
sarapan pagi kami, mulai lagi menyiapkan peralatan kerjaku, mulai lagi
membersihkan rumah dan merapihkan barang-barang. Aku senang, kesabaranku
ternyata membuahkan hasil, Ameera kembali ceria seperti dulu.
Tiga bulan kemudian, kebahagianku pun
bertambah tiada tara. Usai rutin check up ke klinik bidan, Ameera
ditetapkan positif mengandung. Entah, keajaiban apa yang tengah Tuhan tunjukan
pada kami. Namun, aku tak henti-hentinya bersyukur.
Tujuh bulan sudah berlalu dan sebentar lagi,
Ameera akan melihat buah hati kami yang pertama. Aku dan Ameera sudah tak sabar
menunggu hari itu. Kuciptakan sebuah lagu untuknya. Menggambarkan perasaanku
padanya menyambut keajaiban Tuhan.
C#Maj7 CM7
When I was
alone you came to me
BMaj7 A#M7
God’s
being is in your self
C#Maj7 CM7
We walk
together
BMaj7 G#Maj
And
forever we smile…
Tangis bahagia Ameera tak terbendung. Aku
mengelus-elus perutnya yang besar. Berbicara padanya seolah-olah yang di dalam
mendengar. Lalu, kami berdua pun tersenyum.
***
“kamu dimana... kamu
dimana...”.
Sayup-sayup suara Ameera terngiang di
kepala. Dalam tidurku aku tetap menangis. Dadaku begitu sesak. Aku sulit
bernafas. Aku merasa tak ada gunanya lagi hidup. Pikiranku selalu ingin
menjemputnya ke alam sana.
Aku membuka mata. Begitu gelap, sangat
gelap. Ruangan ini begitu hampa. Aku menatap kosong ke depan. Untuk ke sekian
kalinya ini terjadi lagi padaku. Aku mengaku kalah, seberapa kuat diriku
melupakan, bayang Ameera tetap memeluk anganku erat.
Satu tahun yang lalu. Aku masih ingat
kesalahanku yang paling tak bisa kumaafkan. Sudah jelas, hari-hari Ameera akan
melahirkan semakin dekat. Namun, aku malah disibukan oleh project rekaman
hingga sampai melupakan prioritasku terhadap dirinya.
Saat itu, aku tengah begitu sibuk di studio
sampai seharian lupa waktu. Aku pikir Ameera akan baik-baik saja di rumah
sendiri. Tapi aku salah. Aku pulang larut malam, hingga pukul 2 pagi baru
sampai rumah. Saat kubuka pintu rumah, terdengar suara Ameera memanggilku.
“Habiby..”,
suaranya terdengar seperti merintih, secepat kilat aku berlari ke kamar dan
mendapati istriku mengalami pendarahan. Tanpa pikir panjang segera kugendong ia
menuju mobilku kemudian melesat menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, segera istriku dilarikan
ke ruang unit gawat darurat. Aku menunggu di luar dengan cemas, berharap tak
terjadi apa-apa dengannya dan bayi kami. Berjam-jam aku menunggu, rupanya Tuhan
berkehendak lain. Dokter sudah berusaha keras melakukan yang terbaik, ia
berkata padaku bahwa istriku keguguran dan nyawanya tak bisa diselamatkan. Aku
masuk dan berdiri di samping istriku yang sudah tiada. Saat itu aku tak tahu
harus bagaimana. Airmataku habis, tenggorokanku tercekat, dadaku sesak. Rasanya
ingin saja aku menyusulnya. Namun, begitu aku hendak menghunuskan gunting yang
ada di depan mata ke arah perutku. Segera, dokter dan para suster menahanku.
Tangisku pecah, aku tersungkur lemas tak berdaya.
Aku ingat betul, hari-hari itu begitu pilu
dan menyakitkan, penyesalan amat mengakar dalam diriku. Satu hal yang terus
terngiang dalam kepalaku adalah suaranya yang ternyata beberapa jam sebelum
kejadian, ia sempat mengirimkan pesan berupa voice note:
“kamu dimana... kamu
dimana...”.
Saat itu ponselku mati dan baru kuketahui setelah
semua usai. Itu membuat penyesalanku semakin mendalam dan keadaanku semakin
kacau.
Aku sempat berhenti bermusik dalam waktu
yang lama. Sampai saat aku termenung sendiri di kamar, memandang violin
almarhumah istriku tergantung di sudut dinding. Air mataku semakin deras.
Sebab, aku mengingat semuanya, nada-nada yang kami bangun menciptakan melodi
yang harmonis. Dan sekarang, semua itu hanya kenangan.
Terimakasih
Ameera.
Kairo, 24 Feb 18
_________________________________________________________________________________
PENGERTIAN
- Additional player : Pemain
pengganti sementara.
- Awwel makram : Nama sebuah kawasan daerah di
kota Kairo.
- Backstage : Ruangan di belakang panggung
- Body pick up : Penutup dari
pick up gitar.
- Control room : Ruang kontrol di sebuah studio
musik.
- Deck lid : Bagasi
bagian belakang mobil.
- Electric guitar : Gitar listrik.
- El mouif ashir : Nama sebuah kawasan
daerah di kota Kairo.
- El ebtedaa : SD
(Sekolah Dasar).
- El senewy : SMA (Sekolah
Menengah Atas).
- Fender : Pabrik alat musik gitar asal
california, AS.
- Hardcase : Jenis
casing gitar yang keras.
- Lift : Angkutan
transportasi vertikal yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang.
- Part melody bar : Suatu bagian melodi dalam susunan
not balok.
- Rhythm : Teknik petikan atau genjrengan dalam
permainan gitar yang berulang.
- Shisha : Hookah.
- Smooth : Mulus.
- Snare : Tali atau benang
yang terbuat dari besi tembaga untuk alat musik.
- Stage : Panggung
- Tune : Stem-an suatu alat
musik.
- Tuning : Menyetem alat
musik.
ARTI BAHASA ARAB AMIYAH MESIR
- Ala fekrah : Ngomong-ngomong.
- Amel eih? : Apa kabar?
- Ana : Saya.
- Asif : Maaf.
- Basha : Juragan.
- Buss! : Perhatikan!
- Fahim : Paham.
- Fie eih? : Ada apa?
- Gamaa : Semuanya.
- Habiby : Sayang (Lk)
- Habibty : Sayang (Pr)
- Hag : Pak haji.
- Kollo tamam : Semua beres.
- Ma'lesh : Maaf.
- Meshi! : Oke!
- Mafiesh mushkela : Tidak
masalah
- Meiya meiya! : Mantap! / Top!
- Sahby : Sahabatku.
- Shabab : Anak-anak muda.
- Shukran : Terima kasih
- Ta'ala! : Kemari!
- Wa la yahmak : Tidak
apa-apa.
- Wallahi?! : Sungguh?!
- Warriny baah?! : Coba saya
lihat?!
- Ya : Wahai.
- Yalla! : Ayo!
Komentar