BURUNG PIPIT YANG GAGAH DAN IBUNYA




Saya punya sebuah cerita, judulnya “Burung Pipit Yang Gagah dan Ibunya”.

   Jadi diceritakan, hidup seekor burung pipit muda di sebuah sarang jerami yang lumayan besar bersama Ibunya dan saudara-saudaranya. Sehari-sehari burung pipit muda tersebut mencari makanan untuk mereka.
   Hingga, pada suatu ketika ia mulai merasakan kejenuhan. Ia pandangi langit yang luas dengan hamparan awan melayang-layang. Sebagaimana pula angannya yang berhamburan kesana-kemari, membayangkan ada apa di luar sana. Ia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, bagaimana jika ia berkeliling dunia. Mendengar itu, sontak Ibunya terperanjat.

“Dunia luar berbahaya nak..”

“Ibu, aku ingin melihat dunia. Aku bosan hanya berputar-putar sekitar sini..”

“Tapi nak, kau tak tahu kalau di luar sana banyak pemangsa..”

“Tenang saja Ibu, aku akan kembali dengan selamat..”

   Sang pipit muda tetap bersikeras ingin pergi. Ibunya terus mencegahnya. Saudara-saudaranya menertawakannya. Mereka mencemooh sang pipit muda tersebut. Mereka anggap lelucon bualan tentang angan bernama ‘keliling dunia’.
   Seberapa kuat sang Ibu mencegah dan melarangnya. Toh, pipit muda tersebut bersikukuh pergi. Dengan berlinang air mata, ia kali ini harus membantah perintah Ibunya.
   Ia bentangkan sayap mungilnya, menghela nafas untuk bulatkan tekad, terbanglah ia di udara. Meninggalkan jauh Ibu dan saudara-saudaranya.
   Singkat cerita, sudah berhari-hari ia berkelana, ia mulai lelah mengepakan sayap-sayapnya. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah pohon rindang, yang ternyata ada seekor ular yang tengah bertengger diatas ranting pohon tersebut.
   Sebelum hendak mendarat, pipit muda tersebut segera menyadarinya. Dengan penuh sekuat tenaga ia kepakan kembali sayap-sayap mungilnya, berusaha menjauhi ular tersebut. Sang ular pun tak ingin kalah. Ia juga menjulurkan lidahnya dan menyemprotkan sebagian bisanya kearah pipit muda tersebut.
   Beruntungnya, sang pipit muda berhasil menjauhi ular tersebut. Namun, lama-kelamaan ia merasakan perih yang amat sangat dibagian kiri kakinya. Ternyata setelah dilihat, kaki kirinya terkena sedikit bisa dari ular tadi.
   Ia sudah tak kuat lagi, perih kakinya semakin menjadi. Ia mendaratkan tubuhnya begitu saja di atas hamparan rumput yang luas. Dengan tersungkur, ia coba tahan rasa sakit di kakinya. Tak dinyana, dari kejauhan ternyata, ada seekor musang yang tengah mengintai gerak-gerik pipit muda tersebut.
   Kembali, sang pipit muda menyadari ada pemangsa lain yang tengah mendekatinya. Segera, dengan sekuat tenaga ia kepakan sayap, berusaha terbang menjauhi sang musang. Musang pun tak ingin kalah, melihat mangsanya hendak kabur, ia segera berlari sekencang-kencangnya, mengejar pipit muda tersebut. Hampir dekat dengan jarak pipit muda itu terbang, sang musang melompat dan mencakar kaki kanan sang pipit.
   Sang pipit tak ingin menyerah, ia tetap berusaha sekuat tenaga mengepakan sayapnya setinggi mungkin, menjauhi sang musang. Walaupun sudah tak terbayangkan lagi rasa sakit yang dirasakan pipit muda tersebut. Namun, lagi-lagi beruntungnya, ia berhasil selamat dari pemangsa.
   Selama berhari-hari berkelana, ia diselimuti ketakutan. Ia takut singgah ke semua tempat, yang dipikirnya pasti ada hewan pemangsa di sekitarnya. Mulailah ia berlinang air mata, sebab ingat akan perkataan Ibunya.

“Tapi nak, kau tak tahu kalau di luar sana banyak pemangsa..”

   Dadanya sesak, rindu akan Ibunya, sekarang keinginannya hanyalah ‘pulang’. Ia merasa menyesal telah membantah larangan Ibunya. Ternyata, dunia luar tak seindah yang dibayangkan.
   Dengan perjuangan dan tenaga yang tinggal separuh, ia berusaha ‘pulang’. Selama perjalanan, pastinya ia harus kembali menghadapi beberapa rintangan dan pemangsa.
   Ada saat momen, ketika ia tengah bersembunyi dari kejaran burung elang. Ia menangis sesenggukan, dadanya betul-betul sesak, ia rindu Ibunya. Dalam hatinya selalu mengucapkan.

“..Ibu, aku ingin pulang.. Ibu, aku ingin pulang..”, seperti itu berulang kali.

   Dan akhirnya, dengan penuh luka di sekujur tubuhnya, pipit muda tersebut berhasil kembali ke sarangnya dan bertemu Ibu juga saudara-saudaranya.
   Pertemuan haru itu tak terbendung lagi.

“Ibu, maafkan aku, dulu aku membantah larangan Ibu. Sekarang aku sadar, semua perkataan Ibu itu benar”. Tangisan pipit muda tersebut pecah di pelukan Ibunya.

   Tak disangka, sang Ibu malah berkata demikian.

“Nak, kau tak salah. Pilihanmu benar, mengarungi dunia, untuk mengalahkan rasa penasaranmu akan dunia luar. Ketika kau pergi, memanglah Ibu melarang, tapi bukannya tidak meridhai. Sebab, tidak ada seorang Ibu di dunia ini, yang sanggup melihat anaknya menderita. Makanya, Ibu melarang, tapi dalam hati kecil, Ibu tetap meridhai..”
“Dan sekarang lihatlah. Kau sudah beranjak dewasa. Kau sudah mengerti akan namanya ‘penderitaan’. Dengan begitu kau lebih gagah di mata Ibu, dibanding saudara-saudaramu”.

***

   Cerita diatas saya kutip dari penggalan cerita di buku novel yang baru saja saya rampungkan. Tentunya dengan sedikit polesan dan ilustrasi imajinasi kata-kata dari saya sendiri.
   Jujur, saat membaca penggalan cerita tersebut. Bagai tamparan keras, terkhusus bagi diri saya sendiri. Bahwa, perkataan “Ridha Ibu adalah juga ridha Tuhan”, itu tampak nyata di kehidupan sehari-hari.
   Seperti itu saya memaknainya sebagai pembaca. Sekian. Terima kasih.
Dan jangan lupa, telfon Ibumu walau sesibuk apapun dirimu.


Kairo, 15 Feb 18

Komentar

Postingan Populer