KAU (Cerpen)
Pagi tak pernah berbohong pada burung-burung yang selalu hinggap di pepohonan rindang ketika mentari terbit. Rupanya ia ingin memperlihatkan sosok kesetiannya ketika mereka berkicau di segala penjuru alam, selalu saja dengan embun dan kesejukannya. Memang tak lebih indah dari purnama terang yang bayangnya terpantul pada genangan air yang di dekatnya seekor burung hantu sedang bercermin. Karena ia hanyalah pagi yang ketentramannya tak ingin di usik oleh siapapun.
Pagi ini adalah pagi yang kesekian kalinya ku
tersenyum menatap jendela yang berembun, terasa perasaan bagai nadi yang
tersayat akan perih itu. Perasaan yang berlalu memang tak lebih buruk daripada
takdir yang tak diinginkan, sama persis dengan senyumku yang terus melambaikan
hawa magis kehadiranmu.
Dan kau kini hanya seonggok kenangan yang
berlalu, yang bayangnya selalu menyiratkan gurat kesenduan.
Sungguh, hanya mengenangmu saja tak dapat mengobati
tercandu rindu, bukan juga sekedar menggenggam kertas berlukiskan wajah
manismu, walau seribu pujangga berkata kehadiranmu akan abadi di setiap sudut
hati, namun tak sedikit pun dapat ku raba rasa itu. Seraya mata ini memandang
ujung jalan kenangan, kau hanya terngiang di batinku.
Mira, dan kali ini ku putar kembali kisah kita, walau
mungkin kau tak sepakat dengan pernyataanku tentang “kita”, karena ini hanyalah
“kita” versi yang kudamba-dambakan di masa depan, kala itu.
Lalu ku ingat kembali setahun yang lalu,
masa-masa ketika kita masih bersua.
Waktu terus bergulir sesuai rotasi masa yang
seharusnya, hingga kita dapat mengenal satu sama lain. Ialah saat kita berada
di bus pariwisata yang sama. Ketika itu kita mengikuti acara wisata yang
diadakan sebuah organisasi, kebetulan aku dan kau masuk dalam daftar jajaran
yang bisa ikut wisata itu. Tepat pukul 8 pagi semua telah berkumpul dan sialnya
aku terlambat. Kulihat semua kursi sudah terisi penuh, hanya beberapa orang
saja yang tak mendapatkan kursi termasuk aku. Akhirnya sebagian dari kami
menggelar tikar seadanya di bawah-bawah kursi dan aku lebih memilih
menggelarnya di dekat kursi yang kau duduki.
Hingga malam tiba kami semua masih dalam perjalanan
dan ku lihat kau masih terlelap dalam tidurmu. Ku pandangi kau sebentar
kemudian batinku bergumam “Mira, mengapa kau tertidur di saat suasana sepi
seperti ini, bisakah kita berkenalan atau sekedar berbincang-bincang”. Kuhela
nafas lalu ku lanjutkan fokusku berkutat dengan ponsel, malam semakin larut dan
akupun belum mengantuk sama sekali, kulihat lagi kau yang duduk diatas yang
semakin terlelap tapi posisimu semakin pula tak seimbang sampai ingin terjatuh
dari kursi. Kesempatanku membangunkanmu, kasihan juga apabila kau sampai
terjatuh saat tidurmu pulas, pikirku.
“Maaf mbak, bersandarlah ke arah jendela supaya mbak tidak jatuh
ke bawah saat tidur”, kau terbangun setelah ku tepuk pelan bahumu.
“Hmm, terima kasih ya mas sudah mengingatkan”, senyum
pertamamu untukku lalu ku balas senyum kembali, setelah itu segera kau perbaiki
posisi tidurmu. Ah, sedikit mengecewakan sebab kau kembali
tertidur. Ya sudah aku berkutat kembali dengan ponselku. Selang beberapa menit
kemudian ada suara benda terjatuh. Ternyata kulihat sebuah ponsel jatuh dari
tempat dudukmu.
“Mbak, ini ponsel mbak?”, ku ambilkan dan segera ku sodorkan
kepadamu.
“Oh iya, terima kasih lagi loh mas”, kau kembali tersenyum.
“Sama-sama”, ku balas senyummu.
“Perkenalkan nama saya Mira Tyasih kalau Mas namanya siapa?”,
tiba-tiba mendadak kau memperkenalkan namamu lalu bertanya namaku, membuat
hatiku sedikit berbunga, akhirnya kau mengajakku berbicara.
“Nama saya Arga Loka, biasa di panggil Kaka, jadi panggil saja
saya Kaka”, segera ku jawab pertanyaanmu sumringah.
“Oh iya mas Kaka salam kenal ya”, kembali dengan senyum manismu.
Malam semakin larut namun perbincangan kita semakin
akrab, hingga tak sadar fajar sudah hampir menyapa, dan tempat tujuan sudah
hampir dekat. Itulah malam dimana pertama kali kita berkenalan, di dalam bus
pariwisata yang berjalan, cukup mengesankan bagiku. Dan keakraban kita pun
semakin berlanjut di hari-hari kemudian. Hingga tak lagi ada sekat diantara
kita, pula tak lagi ada kita saling memanggil satu sama lain dengan sebutan
“Mas” atau “Mbak”.
Dan pada suatu kesempatan pula untuk kesekian kalinya
kita bertemu.
“Kaka..!”, dari kejauhan suaramu memanggil sambil mendekat ke
arahku aku pun menoleh lalu tersenyum.
“Iya Mir?”.
“Kau ingin pulang jam berapa?”, tanyamu sambil menatapku.
“Sebentar lagi sepertinya, semoga kalau tidak ada urusan lain.
Kalau kau?”.
“Aku belum tahu Ka, mungkin agak malam, karena urusannya belum
selesai”, jawabmu dengan nada bimbang.
Mendengar itu tak perlu basa-basi segera kutawarkan kebaikanku.
“Ya sudah, nanti bareng aku saja Mir”.
“Tapi kau kan sudah ingin pulang Ka?”, tanyamu.
“Tidak apa-apa nanti aku menunggumu sampai selesai”, ku jawab
pertanyaanmu sambil tersenyum
“Jangan Ka, nanti kau lelah bila menungguku”.
“Tidak kok, serius”, kuangkat tanganku sambil menegakkan jari
telunjuk dan tengah mencoba meyakinkanmu.
“Sungguh?!”, terlihat wajah sumringahmu
“Iya sungguh”, kembali ku angkat tangan sambil menegakkan jari
telunjuk dan tengah sambil tersenyum dan kembali kau balas dengan senyum
sumringahmu.
“Oke deh, makasih ya Ka”, dengan senyummu yang selalu
menyejukkan hati ini.
“Iya sama-sama Mira”, kujawab sambil membalas senyummu kemudian
kau berlalu.
Sudah beberapa kali ku mengantarkanmu pulang, bukan
tanpa alasan, karena memang rumah kita berada di kawasan yang sama, walau
begitu kita tak sering berjumpa, hanya saat-saat acara keorganisasian seperti
ini kita dapat bertemu kembali.
Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya aku
mengantarkanmu pulang dengan menaiki bus umum. Berdesak-desakan di dalam bus
mungkin tak masalah bagiku, tapi kini aku mengkhawatirkanmu kalau-kalau ada
tangan jahil walau tak sengaja. Segera ku dekatkan posisi berdiriku denganmu
sambil menyuruhmu bersandar pada tiang besi yang ada di dekat tempat duduk
karnet, agar kau pun tak terlalu kelelahan berdiri. Sesampainya di gerbang
rumahmu, kau pun berterima kasih padaku, lalu ku balas dengan senyuman.
Malamnya aku tak bisa tidur, sulit bagiku melupakan
bayang-bayangmu, karena sepanjang jalan tadi, entah kenapa mataku tak dapat
lepas dari sosokmu yang walaupun telah berkutat seharian dengan kegiatan
organisasi namun tetap terlihat anggun. Dalam hati, “salahkah diri ini apabila
mengagumi sosokmu?, entahlah, mungkin waktu yang kan menjawab.”
Lalu, di suatu kesempatan, kau bercerita tentang masa
lalumu kepadaku, tentang bagaimana hubunganmu dulu dengan seseorang yang
menurutmu sudah pantas menjadi pendamping, yang ternyata berakhir kandas di
tengah perjuanganmu mempertahankan dia. Dalam hati “Mira, adakah kesempatan
untukku menjadi orang itu, agar tak lagi ada kata kandas di tengah perjuangan
kita”.
Hingga pada suatu waktu, kau memutuskan untuk pergi.
“Kaka..”, suaramu yang ku hafal sambil menatapku.
“Iya Mira?”.
“Aku harus pulang ke kampung halamanku, karena kedua orangtuaku
membutuhkanku disana”, tiba-tiba suaramu parau dan wajahmu menunduk lesu, lalu
kau lanjutkan kembali kata-katamu.
“Dapatkah kita bertemu lagi Ka?”, kau kembali menatapku.
“Semoga, bila Tuhan menghendaki”, segera ku jawab lalu tersenyum.
Aku tak tahu kalau hari itu adalah pertemuan terakhir
kita, sebab seminggu kemudian aku mendapat kabar tentang kecelakaan mobil saat
kau baru selesai melangsungkan pernikahan dengan calon pendamping pilihan
orangtuamu. Entah bagaimana perasaanku saat itu, begitu hampa rasanya. Aku
menyesal mengapa tidak dari dulu kunyatakan perasaan ini, aku begitu pengecut,
tidak, bahkan, saat pertama kali berkenalan pun, kau yang pertama kali
memperkenalkan diri, padahal sudah lama sekali aku ingin berkenalan denganmu,
kala itu. Ku akui, aku memang begitu pengecut.
Biarkanlah bagi pengecut ini berlarut-larut dalam
lembah kesedihannya, aku akan hidup, karena apabila aku pun tiada, maka adakah
waktuku untuk bisa mengenangmu di alam sana. Dan biarkanlah sosok “kau” menjadi
tokoh utama dalam kenanganku. Sebab apabila dunia bukanlah tempat kita, semoga
kelak di surga kau dan aku bersatu.
Kairo, April 2016
Komentar