KOPI (Cerpen)



   Suatu malam ketika kebanyakan jiwa-jiwa sedang sibuk berselancar di dunia mimipi, di salah satu rumah di balik jendela bilik kamar terpancar cahaya lampu yang masih menyala, di dalamnya masih berkutat seorang pemuda bernama Satria dengan beberapa carik kertas yang telah berisikan tulisan-tulisan fiksi karyanya, ia duduk di kursi kayunya sambil masih terus menulis, di sisi lain pojok kamar itu juga, sambil rebahan di kasur seorang kawannya bernama Bima masih asyik membaca sebuah buku dan sesekali menyeruput secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asapnya.
   Sejak setengah jam yang lalu sama sekali tak terdengar suara dari dua pemuda tersebut, mereka benar-benar telah terbenam dalam lautan dunianya masing-masing, mereka bukannya tak peduli dengan jarum jam yang sudah menunjukan pukul 12 malam, namun asyiknya dunia khayaj memang kadang membuat diri enggan untuk segera beranjak menuju dunia mimpi.
   Tapi sefokus apapun seseorang apabila di kagetkan pasti akan buyar juga fokusnya, dan cangkir kopi yang jatuh ke lantai lalu pecah pun berhasil mengagetkan mereka.
Praang…
Sontak mereka berdua pun sama-sama terkaget.
“Astaga! Membuatku terkaget saja Bim”, ucap Satria
“Maaf Sat, gara-gara tak sengaja tersenggol sikut lenganku ini, jadi jatuh”, sambil beranjak dari kasurnya mengambil sapu dan serokan di samping lemari besarnya. Lalu segera ia singkirkan dahulu pecahan-pecahan beling yang berserakan di lantai dengan sapu dan serokan kemudian ia mengelap tumpahan kopinya dengan sebuah kain kotor.
  Setelah semua bersih, dan tak ada lagi pecahan beling yang tersisa, ia pun beranjak ke dapur, dan tak lama kemudian selang beberapa menit ia kembali lagi membawa secangkir kopi baru yang aromanya masih tajam khas kopi hitam. DaSatria pun segera sadar ada aroma kopi yang baru dibuat.
“Bim, kau menyeduh kopi lagi?”.
“Iya Sat, tanpa kopi saat membaca itu rasanya seperti sayur tanpa garam, hambar”.
“Iya aku paham, tapi kenapa kau hanya membuat satu Bim? untukku mana?”, sambil cengar-cengir Satria berharap di buatkan secangkir kopi juga.
“Huh, dasar kau, buat sendiri dong”, Bima pun menjawab candaan kawannya tersebut, lalu melanjutkan ucapannya.
“Tapi kalau kau mau, kita join saja kawan”.
Oke, ya sudah coba kemari, biar ku coba racikan kopi buatanmu”, Bima menghampiri kawannya tersebut lalu menyodorkan cangkir kopinya.
Sruput...
“Bagaimana, mantap kan?”, ia menunggu respon Satria dengan wajah penasaran.
Hmm, boleh juga”, Satria pun mengangguk.
“Betul kan, setelah minum kopi ini mata kita jadi segar kembali”, ia menimpali komentar kawannya itu.
“Bisa saja kau”, Bima pun tertawa kecil mendengar ucapan kawannya tersebut.

   Setelah itu Bima kembali ke kasurnya, ia taruh secangkir kopinya itu di atas meja samping kasur, ia kembali menata posisi rebahan dan siap kembali membaca, lalu lembar demi lembar ia buka, mencari batas halaman yang terakhir ia baca. Satria penasaran dengan buku yang Bima baca, sambil mengernyitkan matanya ia berusaha membaca judul di cover buku Bima.
“Motivasi Cinta...”, ia eja perlahan judul buku yang di baca Bima.
Wow, ternyata kawanku satu ini sedang kasmaran ya, sehingga bacaannya sekarang serba cinta-cintaan”, Satria berusaha menggoda kawannya tersebut.
   Bima yang sadar sedang di sindir segera menimpalinya.
Hehe, kau tahu tahu saja kawan” sambil cengengesan kemudian ia kembali menyeruput kopinya.
“Iya tahu dong, soalnya tumben-tumbenan kau membaca buku seperti itu”, sambil menunjuk ke arah buku yang di pegang oleh Bima dengan pulpen yang masih ia genggam.
“Iya Satria, bisakah kau memberi solusi padaku tentang ini?”, tiba-tiba Bima curhat.
Loh, kalau kau meminta solusiku, jadi apa gunanya kau membaca buku itu sedari tadi?”Satria tertawa kecil.
“Sudah hampir setengahnya ku baca motivasi di dalam buku ini tapi aku tak kunjung menemukan solusi apapun”.
Oke, jadi apa masalahmu kawan?”, akhirnya Bima pun berhasil membuat Satria penasaran, kemudian Satria pun memutar kursinya menghadap kasur tempat Bima rebahan dan memutuskan meninggalkan sementara tulisannya untuk mendengarkan curhatan kawannya tersebut.
“Jadi seperti ini kawan, sebetulnya aku sedang jatuh hati dengan salah satu kakak kelasku di kampus, kami pun sudah begitu akrab, hanya saja yang membuatku bimbang adalah, salahkah apabila jatuh hati kepada wanita yang lebih tua dari kita?”.
Hmm, mungkin bagi sebagian orang menganggap hal ini termasuk kurang etis, tapi bagi sebagian orang lagi hal ini tidak jadi masalah. Kau ingin jatuh hati pada siapapun tidak ada yang boleh melarang, karena rasa itu timbulnya dari dalam hati, dan Tuhan telah menganugerahkan pada manusia hati yang dapat merasakan segala sesuatu bentuk yang disebut sensasi rasa, jadi sah-sah saja apabila kau menyukainya”.
Nah, maka dari itu aku ingin tahu apakah ia termasuk sebagian orang yang menganggap perbedaan umur itu masalah atau tidak, kau punya solusi Satria?”.
Hmm, kenapa kau tidak langsung menyatakan perasaanmu saja padanya?”, Satria balik bertanya kemudian ia menyandarkan punggungnya ke kursi yang didudukinya sambil bersedekap, lalu ia lanjutkan kembali perkataannya.
“Dengan begitu kan kau dapat mengetahui isi hatinya”.
“Jujur saja, aku takut di tolak, aku belum yakin ia akan menerimaku sat, aku hanya orang biasa sedangkan ia termasuk mahasiswi dengan segudang prestasi di kampus, apalagi perbedaan umur yang disini akulah yang lebih muda”.
“Bim, dengar baik-baik, kalau kau berfikiran seperti itu berarti hatimu telah di taklukan oleh rasa pesimis”, Satria coba meyakinkan kawannya tersebut agar tak pesimis.
   Lalu Bima pun terdiam sejenak, memikirkan perkataan kawannya tersebut.
“Beranikanlah dirimu dan mantapkanlah hatimu bim, kalau perlu lamar langsung saja dia”, Satria melanjutkan perkataannya.
   Bima masih terdiam, hingga kemudian ia menimpali saran kawannya tersebut.
Hmm, iya Sat, sebenarnya hatiku memang sudah yakin ingin melamar dia, tapi bukan sekarang karena aku belum berani mengungkapkannya”, masih tergurat kebimbangan di wajah Bima.
“Kau ini bim, bagaimana kau bisa yakin ingin melamar dia kalau kau sendiri pun tak yakin dengan keberanianmu?!”, Satria mengomentari kebimbangan kawannya tersebut.
   Kemudian Bima kembali terdiam memikirkan bahwa ada benarnya juga, mengapa ia yakin ingin melamar seseorang kalau hatinya sendiri pun meragukan keberaniannya.
“Cepat loh bim, nanti kau keduluan yang lain”, Satria mencoba menggoda kawannya tersebut.
“Baiklah nanti saat aku bertemu ia kembali, aku akan coba mengungkapkannya”, sedikit terpancar harapan dari wajah Bima, namun masih saja dengan raut yang tak semangat.
“Tapi bagaimana kalau ia menolakku Sat?”, terlihat Bima masih bimbang, belum ada titik cahaya optimis yang berhasil menjamah kemantapan hatinya.
“Kau ini, dengar Bim! Ada pepatah mengatakan bahwa; cinta itu anugerah, menikah itu takdir, kau bisa mencintai siapapun tapi kau tak bisa menentukan dimana cintamu akan berlabuh”. Satria coba menasehati Bima kembali.
“Maksudnya?”, Bima tak paham dengan pepatah yang di ucapkan Satria, seakan ia ingin Satria lebih memperjelas secara gamblang tentang pepatah itu.
“Jadi, seperti ini Bim, kau sama sekali boleh mencintai siapapun, entah ia lebih tua darimu atau lebih muda, sebab tak ada yang salah dengan cinta, hanya saja saat cintamu bertepuk sebelah tangan, maka disitu kau harus menerima dengan lapang dada, karena kau tak bisa menentukan sesuai keinginanmu. Bisa saja malah Tuhan telah mempersiapkan seseorang yang lebih baik darinya. Namun sekali lagi ku ingatkan padamu Bim, walau begitu pun kau tetap harus berjuang, sebab berjuang pun tak ada salahnya juga”.
   Di balik raut wajah Bima mulai terpancar senyum optimis penuh harapan setelah tadi dengan beberapa nasihat dari Satria.
“Terima kasih Sat, kau memang kawan yang baik, sekarang hatiku sedikit demi sedikit sudah mulai yakin, sekali lagi terima kasih”, tiba-tiba Bima bangun dari kasurnya dan menjabat erat tangan Satria.
“Iya sama-sama Bim”, Satria pun tersenyum, ia seperti sudah puas membuat kawannya lepas dari belenggu kepesimisan. Tapi kemudian ia lanjutkan perbincangan itu kembali dengan mengganti topik sedikit santai.
“Tapi Bim, sebenarnya aku sedikit penasaran, pesona apa yang di pancarkan oleh kakak kelasmu itu sehingga dapat meluluhkan hati kawanku ini”. 
“Kau bertanya tentang pesona parasnya atau perangainya Sat?”, sambil senyum-senyum Bima bertanya balik
“Coba kita mulai dari segi parasnya?!”, pinta Satria.
“Jadi Sat, pertama aku melihatnya di dalam bus pariwisata yang kami naiki, seperti Tuhan memang telah menakdirkan pertemuan pertamaku dengannya di suatu malam, kala itu kupandangi ia duduk manis di kursi empuknya Sat, tak kupungkiri lagi diri ini memang jatuh hati pada cara ia tersenyum, ku tatap lekat-lekat pada posisi ia duduk. Ku terpukau, sungguh feminim, semua yang terpancar darinya adalah keelokan menurutku Sat, aku anggap ialah muara dari segala jenis karya Tuhan, ia perpaduan antara pelangi, mentari, senja, rembulan dan semuanya, sungguh ku terkagum saat itu Sat, ia bagai bidadari yang sengaja dititipkan Tuhan pada rahim seorang Ibu surgawi, melirik wajahnya dari celah-celah malam saja adalah romantisme terindah dalam hidupku. Aku benar-benar jatuh hati Sat”.
   Terlihat Bima begitu semangat mendeskripsikan wanita pujaan hatinya tersebut.
Wow, sebegitunya kah? Tapi terlihat kok dari ekspresi saat kau menceritakannya tadi”, Satria pun senyum-senyum dan Bima pun cengar-cengir.
Oke, kalau dari segi perangainya?”, Satria melanjutkan perbincangannya.
“Kalau dari segi perangainya hanya satu Sat; sifat keibuan yang sudah terpancar darinya Sat”, jawab Bima dengan mata berbinar-binar.
Wow, sepertinya hatimu memang sudah mantap sekali Bim”, Bima hanya cengar-cengir mendengarnya. Kemudian Satria lanjutkan kembali perkataannya tersebut.
“Tapi sekali lagi pesanku, apapun nanti jawaban ia, kau harus menerimanya. Jangan sampai saat jawabannya tak sesuai keinginanmu lalu kau kalut kemudian kau bunuh diri seperti yang di televisi-televisi Bim”.
“Siap bos!”, keduanya pun tertawa bersama, menertawakan kegilaan cinta, yang kadang lucu saat di pandang oleh realita.


Jelas, hari esok masih abu-abu
Tak dapat dan tak boleh di salahkan
Namun tetap ada yang dapat di perjuangkan

Oohh iya, ini kopinya di coba lagi Sat”, ucap Bima sambil menyodorkan secangkir kopi miliknya pada Satria.
Sruput…

Dan gelak tawa mereka pun semakin melebur bersama ampas kopi yang menghitam
Rembulan jua seakan mengintip dari balik jendela
Cahayanya semakin nyata
Senyata hati yang kadang rapuh

Tapi malam ini kopi yang merekahkan senyum mereka
Entah hari esok kan jadi apa
Akankah selaras dengan harapan
Entahlah, semoga kopi tetap memahami isi kalbu
Walau nanti tak terbalas

Kairo, Mei 2016

Komentar

Postingan Populer