BUNGA (Cerpen)



   Akulah hamparan bunga di taman yang berwarna-warni, harumku semerbak terhirup segala helaan nafas. Dan kumbang-kumbang suka sekali berdendang diatasku. Mereka terlena akan keelokanku, indahnya diriku, dan harumnya wangiku. Dengan selalu mereka tiba tuk menyerap sariku. Lalu dengan tangkai-tangkaiku aku juga bebas menghempaskan mereka kala ku rasa sariku tak lagi ingin diserap. Namun, entah dari mana tiba-tiba datanglah segerombolan hama, merusak semua tanaman yang ada, hingga gersang sudah semua. Aku terlayukan mereka, memang itulah yang terjadi. Namun, setelah itu datanglah seorang bidadari mengulurkan tangannya lalu mengambil bibitku kemudian ia tanam kembali di taman surga. Hingga kembali menjadi, akulah hamparan bunga, yang sekarang bersemi di taman surga.

   Namaku Bunga Lestari, gadis belia berumur 19 tahun. Anak tunggal berparas cantik, kulit putih, hidung mancung, bibir tipis, bertubuh tinggi langsing. Tak heran, sebab aku masih memiliki darah keturunan Eropa dari keluarga ibuku. Di samping itu juga, keluargaku masih tergolong keluarga yang berada. Memang ayahku adalah bos minyak tersukses di negeri ini. Pamanku juga memiliki banyak cabang restaurant. Oleh ayahku pun, apa saja segala keinginanku pasti akan diturutinya. Mobil, telepon genggam, perhiasan, sepatu dan masih banyak lagi. Hidupku memang cukup glamor. Apapun harus serba elit, sampai memilih lelaki pun harus sesuai standardku. Ya, sudah barang tentu high styles adalah sebuah keharusan. Sebab itu, sering timbulah sifat bosan dari dalam diriku yang menyebabkan aku sering bergonta-ganti pasangan. Sekali bosan, segera satu persatu mereka ku putuskan, tak ada sedikit pun rasa menyesal dalam hatiku. Aku merasa bangga. Mereka yang hanya mengemis-ngemis cintaku lalu dengan kebaikan hatiku sengaja ku terima mereka lalu sudah menjadi hakku apabila aku ingin meninggalkan mereka begitu saja.
   Dan hidupku pun begitu mewah, dengan kartu kredit yang berisikan berpuluh-puluh juta rupiah. Minimal tiap minggu ayahku selalu mengisi saldo secara rutin di rekeningku. Aku seperti ratu, ku hambur-hamburkan uang-uang itu sekehendakku dan aku suka hidupku yang seperti ini.
   Hingga pada suatu waktu, bencana itu pun tiba-tiba datang menghampiri tanpa di undang. Sungguh, layaknya gunung yang tegak berdiri selama bertahun-tahun dengan manusia-manusianya yang makmur hidup sentosa  tinggal di kaki gunung, lalu runtuh begitu saja menimpa apapun yang ada di bawahnya, sebab lava hasil letusan gunung melumeri dan meluluh-lantakkan semua kemakmuran yang ada. Itulah saat ayahku tiba-tiba terkena serangan jantung, lalu meninggal dunia. Tak lama kemudian Ibuku malah pergi begitu saja meninggalkanku, ku dengar ia menikah lagi. Semua harta pula ikut di bawa lari olehnya. Paman-pamanku pun menjauhiku, mungkin takut kutagih-tagih uang sebab di ketahui akhir-akhir ini bahwa mereka memiliki banyak hutang kepada ayahku. Setelah itu, aku pun hidup sebatang kara dengan sisa harta yang ada, ku jual rumah, ku jual semua perhiasan, mobil dan semua harta benda, sampai semua itu habis.
   Aku tak tahu harus kemana, tak ada lagi sanak keluarga yang bisa ku mintai pertolongan, aku menangisi nasibku, kala bebintangan menari-nari di malam hari, mereka seakan menertawai diriku yang kemarin, yang selalu meremehkan orang lain, yang selalu menghambur-hamburkan harta, aku sungguh menyesal. Mungkin ini adalah balasan dari Tuhan agar aku sadar.
   Namun sepertinya Dia masih sayang padaku, sebab aku baru teringat bahwa ternyata aku masih memiliki seorang nenek yang tinggal di sebuah pedesaan. Aku mengingatnya sesaat setelah membongkar berkas-berkas lama di tas kerja ayahku, berharap ada sebuah cek berisi beberapa rupiah, namun ternyata yang ku temukan adalah beberapa foto ayahku bersama kakek dan nenek, sebagian juga ada foto yang tanpa kakek, lalu ku temukan juga akte keluarga ayahku di lembaran-lembaran yang lain. Tertulis alamat lengkap di lembaran itu, sepertinya itu alamat lengkap kakek dan nenekku, segera ku catat lalu ku rapihkan kembali berkas-berkas tersebut. Ku putuskan, aku akan mencari alamat ini, berharap mereka mengenaliku. Sebab, terakhir aku bertemu nenek saat umurku baru menginjak 5 tahun, ku ingat ketika itu nenek berkunjung ke rumahku tapi hanya beberapa hari. Seperti ada suatu masalah yang menyebabkan ayahku menjauhi nenek, aku tak tahu, sebab aku masih kecil saat itu dan aku tak pernah mempertanyakan hal itu. Dan akhirnya, aku mulai berkelana mencari tempat tinggal nenek, meninggalkan semuanya berniat memulai hidup baru. Setelah berhari-hari naik turun bus umum, akhirnya aku tiba di desa yang tertulis di alamat ini. Setelah bertanya-tanya dengan arahan orang-orang di desa, akhirnya aku menemukan tempat tinggal nenek. Terlihat dari kejauhan di depan rumah nenek begitu sepi. Setibanya di depan pintu langsung ku ketuk seraya mengucapkan salam. Terdengar suara perempuan dari dalam berkata "Sebentar...", beberapa detik kemudian pintu di bukakan oleh seorang perempuan yang terlihat telah berumur. Aku sudah mengira ia adalah nenek. Awalnya nenek bingung ketika aku memperkenalkan diri, namun setelah mengingat-ingat ia langsung berhambur memelukku. Aku begitu bahagia. Ternyata Tuhan masih memberikanku kesempatan untuk membenahi diri. Mulai dari sini, aku bertekad ingin belajar merubah hidupku menjadi lebih baik. Lalu sepenuhnya akan ku abdikan diriku bersama nenek. Sebab, hanya ialah satu-satunya bunga harapan yang masih ku miliki.

Kairo, Juni 2016

Komentar

Postingan Populer