GADIS HUJAN (Cerpen)
Pandangi cermin tak berarti meratap, durjana duka hanya tipu muslihat, segenap rona mungkin hanya bayang yang tak setitikpun sendu, menyipu di balik semua kenangan syahdu. Itulah ketika tampak seorang lelaki yang telah berumur sedang duduk di hadapan sebuah kaca cermin. Tatapannya tak sedikitpun terlihat sayu, hanya berusaha tetap seperti layaknya ia dahulu ketika raga masih lihai memapah tulangnya bergerak kesana-sini, itu ia saat muda. Sekarang ia telah terkekeh, menatap kulit wajahnya di cermin yang sudah lemas tak sekesat dahulu lantaran keriput telah menjalar ke seluruh pelosok pandang.
“Tibakah saatku telah harus
menua?”, sekali lagi terkekeh, lalu ia lanjutkan kembali gumamannya tersebut.
“Padahal tulangku masih kuat, dan
aku masih sanggup berceloteh ria di depan pusaramu, adinda” ia tak berkekeh
lagi, namun baru kini sayu, seakan ia berbincang-bincang dengan seseorang.
Tiba-tiba, pintu kamar ada suara
ketukan.
“Ayah, apa Ayah ada di dalam?”,
terdengar suara dari balik pintu.
“Iya, masuk saja nak, pintunya
tak di kunci”, lelaki tua itu sedikit meninggikan suaranya.
“Ayah sudah siap?”, masuklah
seorang gadis cantik yang telah beriaskan gaun pengantin, lalu ia maraih kursi
lain di ruangan itu kemudian memposisikannya di sisi Ayahnya duduk.
Lelaki senja itupun hanya tersenyum pandangi putrinya. Serasa baru
kemarin ia menimang seorang bayi perempuan yang kemudian ia besarkan sendiri
dengan perjuangannya. Dan sekarang sudah hendak membangun bahteranya sendiri.
Bercampur aduk yang dirasa, sedih, gembira, sayang, dan senang, sebab ia harus
melepas satu-satunya putri tercintanya belajar mengarungi hidup bersama orang
lain. Entahlah harus di kemanakan semua rasa itu, haruskah ia larutkan bersama
kenangannya ketika istrinya masih hidup dahulu, ataukah ia harus seperti
hari-hari kemarin ketika celoteh dan leluconnya ia kisahkan panjang lebar di
depan pusara sang almarhum, sendiri, tanpa peduli kendati pun ada bapak-bapak
yang berprofesi sebagai penjaga komplek makam di situ mempertanyakan
kewarasannya.
Tidak, Ia masih waras, sewaras dahulu ketika indah merajut kisah bersama
sang almarhum.
Heran sang gadis melihat Ayahnya tersenyum menatapnya namun tampak
berembun kedua bola matanya sampai ingin berlinang.
“Ayah, Ayah tidak apa-apa?”, sang
gadis mengelus pelan-pelan pundak Ayahnya itu, hingga membuyarkan lamunannya.
Kemudian dengan segera ia seka air matanya yang hendak jatuh dari pelupuk.
“Ayah tidak apa-apa nak, hanya
sedikit ingat tentang almarhum Ibumu”, jawab lelaki itu pada putrinya.
“Ah, Ayah jangan berkata seperti itu, aku jadi ikut sedih”, sambil
kemudian sang gadis memeluk ayahnya.
“Kau memang putri Ayah yang
cantik, secantik Ibumu nak, matamu bundar, persis Ibumu”, belum selesai lelaki
itu mengelus lembut kepala putrinya yang telah berbalutkan hijab cantik, sang
gadis itu segera melepas pelukannya dan menatap ayahnya sambil tersenyum.
“Iya, Ibu memang cantik yah. Aku
yakin Ibu lebih cantik dari yang ada di foto itu”, sambil menoleh ke arah
foto-foto yang terpajang di tiap sudut kamar. Gadis itu riang sekali di hadapan
ayahnya, karena ingin menghibur ayahnya yang nampak seakan sedang sedih. Walau
sejatinya ia pun merasakan kesedihan pula bila ada yang berucap kata “Ibu”,
sebab sejak kecil ia tak pernah bertemu atau melihat langsung wajah Ibunya lantaran
Ibunya telah seketika menghadap Tuhan sesaat melahirkannya, itu kata sang Ayah.
Pernah sesekali dahulu ketika sang putri masih kira-kira berumur 5 tahun,
bertanya perihal Ibunya. Lelaki itu hanya menjawab “Ibumu sedang bekerja di
tempat jauh nak, nanti kalau sudah selesai pastilah ia akan kembali”. Barulah
saat dewasa ia paham sedikit demi sedikit hal sebenarnya mengenai Ibunya. Maka
dari itu, pasti setiap ingin pergi tidur, ia selalu memeluk foto Ibunya yang ia
ambil dari salah satu bingkai foto yang terpajang di kamar Ayahnya.
Mereka sama-sama termenung untuk sesaat memandangi foto-foto yang
berjejer terpajang di kamar itu. Sampai sang gadis pun tiba-tiba bertanya.
“Yah, tolong ceritakan bagaimana
pertama kali Ayah bertemu dengan Ibu?, selama ini kan Ayah hanya menceritakan
tentang Ibu ketika beliau telah menjadi istri Ayah. Aku ingin mendengarnya
sekarang, boleh yah?, kita masih punya beberapa waktu untuk mendengar cerita
dari Ayah”. Melihat raut putrinya yang tersenyum memohon, ia elus lembut kepala
putrinya sambil akan memulai bercerita.
“Baiklah nak”, sang gadis pun
tersenyum kembali, pula di ikuti ayahnya. Kemudian bersandarlah kepalanya di pundak
sang Ayah, dengan itu sang Ayah mulai menceritakan kisah awal pertemuannya
dengan wanita yang telah bersedia menjadi kawan hidupnya hingga akhir hayat.
“Ayah masih ingat betul, 30 tahun
silam, kala gerimis tak di undang berganti dengan hujan yang menderas
menghentikan langkah Ayah tuk pergi mengajar di madrasah, hingga Ayah putuskan
tuk berteduh sejenak di halte bus. Di halte bus itu Ayah sendiri, beberapa lama
kemudian Ibumu pun datang dengan tergesa-gesa, hendak berteduh juga. Dahulu
Ibumu belum berhijab, maka saat itu tampak rambut Ibumu telah basah kuyup
seluruhnya…”.
***
30 tahun silam…
“Maaf, saudari nampaknya
kedinginan, bolehkah saya pinjamkan sejenak jaket saya ini. Kiranya saya hanya
hendak menawarkan kebaikan saja, agar saudari pun tak jatuh sakit nantinya”. dengan
agak segan ku pakaikan jaket kulit hitam milikku pada gadis di hadapanku ini
yang sudah tampak menggigil sedari tadi, dengan rambut panjangnya yang terurai
basah sudah seperti sehabis bermandikan air hujan, di tambah raut wajahnya pun
telah pucat pasi, terlihat dari bibirnya yang semakin membiru. Mungkin, ia
telah berbasah-basah kuyup dari awal tibanya hujan sampai akhirnya ia menemukan
tempat berteduh ini.
Setelah ku pakaikan di tubuhnya yang sedang menggigil, ia hanya
mengangguk seraya tersenyum di ikuti getaran suara giginya, tak berucap satu
kata pun, sebab aku pun paham bila gadis ini sedari tadi berusaha menahan hawa
dingin yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Sejatinya aku kasihan dengan keadaannya, semoga saja setelah mengenakan
jaket, rasa dinginnya sedikit demi sedikit berangsur-angsur menghilang.
Hanya ada suara air hujan berjatuhan yang semakin menderas saat ini
menemani kami berdiri mematung berharap cepat reda. Sebetulnya di halte kecil
ini pun tersedia kursi panjang, namun nampaknya telah rusak dan kotor, sebab
itu kami enggan duduk.
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya air hujan pun telah berhenti
berjatuhan. Telah reda di tandai dengan menjulangnya selendang warna-warni
pelangi di ufuk timur.
“Terima kasih sekali, saudara
telah bersedia meminjamkan jaket ini”, tiba-tiba akhirnya gadis itu pun membuka
mulut dan tampak ia sudah tak kedinginan lagi. Lantas ia lanjutkan kembali
perkataanya.
“Jika berkenan bolehkah saya
hendak mencuci jaket ini dahulu. Setelah bersih, nanti pasti saya akan
kembalikan kepada anda”.
Aku hanya mengiyakannya di ikuti senyumanku dan anggukan kepalaku.
“Nama saya Tiwi Lestari, panggil
saja Tiwi, saudara?”.
“Saya Ihsan”, ku jawab sambil
tersenyum.
“Oh iya, kemanakah saya harus
mengembalikan jaket ini?”.
“Boleh saudari hantarkan ke
madrasah di simpang jalan ini, saya mengajar di sana setiap hari, kecuali hari
jum’at libur”.
“Baiklah, sekali lagi terima
kasih”, gadis itupun mengangguk seraya tersenyum kemudian berlalu.
Keesokan lusanya…
Di kantor guru, aku sedang duduk di kursi mejaku berkutat dengan mesin
tikku, mengetik beberapa tugas. Tiba-tiba ada kawanku guru juga, datang
menghampiri seraya menepuk pundakku kemudian berujar.
“Hai san, sepertinya kau cukup
populer, sampai ada gadis jelita yang mencarimu”, aku segera mendongakkan
kepala menatap kawanku yang tersenyum-senyum sambil terus memainkan alisnya ke
atas ke bawah.
“Gadis?”, mataku menyelidik
menatapnya.
“Iya, sekarang ia sedang
menunggumu di beranda madrasah”, masih saja kawanku tersenyum-senyum sambil
terus memainkan alisnya ke atas ke bawah.
Segera ku bangkit lalu beranjak menuju beranda madrasah.
Kulihat di beranda madrasah dari kejauhan ku melangkah tampak punggung
seorang gadis menghadap pandangku. Sepertinya ia bukan orang sekitar sini,
sebab dari pakaian yang ia kenakan begitu terlihat modis. Dengan kemeja putih
berlengan pendek yang ia baluti pula dengan rompi biru muda, di padu dengan
syal merah jambu tipisnya yang ia simpulkan di lehernya, belum lagi jam tangan
mungil berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Roknya
sebetis berwarna gelap keabu-abuan, bersepatukan hak berwarna hitam yang tak
terlalu tinggi. Tampak rambut lurus panjangnya di ikat kuda dengan penjepit
rambut. Tangan kirinya terlihat menenteng tas plastik berwarna hitam.
Setelah diriku hanya beberapa sentimeter dengan gadis itu, ku sapa ia.
“Assalamu’alaikum. Maaf, saudari
mencari saya?”.
Gadis itu pun membalikkan badan
menoleh padaku.
“Wa’alaikum salam. Masih ingatkah
saudara dengan saya?”, sebelum ia bertanya seperti ini, sebetulnya dari awal
aku sudah mengira-ngira bahwa gadis ini adalah gadis hujan kemarin lusa. Namun,
aku agak ragu, sebab kini ia berkaca-mata dan penampilannya agak berbeda dengan
tempo waktu itu. Agaknya aku takut salah mengira, maka dari itu ku pastikan
dengan bertanya balik padanya.
“Saudari Tiwi yang kemarin
lusakah?, hujan, halte…”.
“Iya betul, dan tak lupa pula
jaket…”, ia tunjukan tas plastik hitam yang ia tenteng sedari tadi, lalu
memberikannya padaku sembari melanjutkan perkataannya.
“Jaketnya sudah saya cuci. Sekali
lagi terima kasih atas kebaikan saudara, kalau tidak, mungkin sekarang saya
sudah demam lantaran kehujanan”.
“Ah, saudari ini terlalu
berlebihan, tempo waktu itu tak lain hanya kewajiban apa yang harus saya
lakukan”, aku tersenyum di ikuti olehnya. Sejenak kami terdiam, tak tahu
pembicaraan apa lagi yang dapat dijadikan topik. Hingga aku pun bertanya.
“Tinggal dimanakah saudari Tiwi?,
nampaknya saudari bukan penduduk sini”.
“Iya, saya dari kota, namun saya
berkunjung kesini dan baru beberapa hari tinggal di rumah paman saya di
seberang jalan sana”, sambil menunjuk ke arah sebuah rumah.
“Ah, itu kan rumah pak
kepala desa?, saudari keponakannya kah?”.
“Iya betul, disini saya tinggal
barang beberapa minggu saja, sebab saya hendak meneliti tentang kehidupan
beragama disini, untuk bahan karya tulis saya di kampus”.
“Oh iya iya”, aku pun tersenyum
mengangguk, kemudian ku lanjutkan kembali kalimatku.
“Kalau begitu, saya hendak masuk
ke kelas, jikalau saudari Tiwi membutuhkan bantuan saya selama disini, bolehlah
saudari sekedar berkunjung ke rumah. Paman saudari tahu letak rumah saya”.
“Oh iya, sebelum itu, saya telah
mendengar dari paman saya, saudara Ihsan biasa mengajar ngaji selepas maghrib
di masjid sini kan?”.
“Iya betul”.
“Bolehkah saya ikut pergi mengaji
dengan saudara?, saya ingin belajar mengaji juga”.
“Iya, boleh boleh”, kembali ku
tersenyum mengangguk.
Kemudian usailah percakapan kami di akhiri dengan salam.
Lalu, selepas maghrib ketika usai ku mengimami sembahyang, aku bersiap
mengajar ngaji di teras masjid. Tak lama kemudian ketika ku hendak duduk di
tempat biasa ku mengajar tiba-tiba dari gerbang masjid munculah seorang gadis
yang amat anggun jelita, aku pun tertegun. Jilbab merah muda yang ia kenakan di
kepalanya, kemeja putih lengan panjang, lalu rok hitam panjangnya, semua begitu
sederhana tapi bag memancarkan aura pesona bidadari surga, seolah hatiku
tertawan beberapa detik sembari mataku tak berkedip. Semakin ia mendekat,
agaknya aku sadar siapa dia. Tiwi?!. Kacamata yang ia pakai, aku masih ingat.
Ia sungguh berbeda dengan yang tadi pagi, kalau tidak lantaran kacamatanya, aku
mungkin tak bisa mengingatnya.
“Assalamu’alaikum…”, masih saja
mataku tak berkedip ketika ia mengucapkan salam. Hingga ia mengulang-ulang
salamnya. Barulah aku tersadar dari lamunku.
“Oh i… iya, wa’alaikumsalam”.
“Saudari Tiwi kah?”. Seakan aku
tak percaya.
“Iya, ini saya”, ia tersenyum
mengangguk coba meyakinkanku.
“Saya hanya sedikit kaget dengan
perubahan penampilan saudari. Sangat berbeda dengan tadi pagi”.
“Sebenarnya, baru kali ini saya
berpenampilan seperti ini”, ia tersenyum, lantas ia lanjutkan kembali
kalimatnya.
“Saya hanya ingin beradaptasi
disini, dari segi apa saja, pakaian pun saya ingin meniru seperti yang lain”,
kembali ia tersenyum. Hingga usai ku mengajar ngaji pun, tak ku pungkiri lagi,
mata ini tak dapat lepas dari sosoknya. Akibatnya, sesekali aku tak terlalu
fokus dalam mengajar.
Mungkin, setelah malam ini, malam-malam berikutnya adalah malam-malam
yang di penuhi segenap semangat. Seolah,
badai hujan pun akan ku terjang hanya untuk pergi mengajar ngaji di masjid
biasa ku mengimami. Kendati pagi tiba dengan embunnya yang menyambut sanubari,
agaknya ku mulai tak begitu terlalu peduli walau sejuknya menjanjikan
ketentraman hati. Hanya hendak segera berlalu saja, sampai senja menyapa, lalu
mega merah bangkit dari singgasananya menuai waktu maghrib. Dan puncak semangat
itulah tiba ketika Tiwi hendak belajar membaca kitab suci AL-Qur’an padaku. Iya, tiap selepas maghrib.
Jam dinding telah menunjukan pukul 11.30 malam, namun mata ini masih
belum menemui lelahnya. Ada saja bayang-bayang Tiwi yang melambai gemulai di pelupuk
ini, dengan jilbabnya yang indah membungkus kepalanya, kacamatanya pula yang ia
kenakan, dan suaranya yang selalu terngiang-ngiang di telinga. Hadir tanpa di
undang selalu ketika jika ku hendak memejamkan mata. Oh Rabb-ku, adakah racun
telah menjalar ke seluruh jiwa ini ataukah madu yang terhidang di hati. Semoga
saja rasa ini tertuang hingga kesejatian asa menjadi nyata. Tiwi, ku akui aku
telah jatuh hati.
***
“Sampai setelah itu Ayah mecoba
mengutarakan niat baik hendak melamar Ibumu kepada pak kepala desa. Ia pun
setuju saja. Kemudian, Ayah beranikan diri langsung mendatangi kedua
orangtuanya, tanpa memberitahu Ibumu terlebih dahulu. Awalnya ia kaget,
terlihat saat Ayah melamarnya ia hanya mengangguk tersipu malu tapi
alhamdulillah semua berjalan lancar”, hingga cerita yang di ceritakannya itu
telah menemui akhir, lelaki yang sebagian rambutnya telah di penuhi uban itu
pun masih mengelus-elus lembut kepala putrinya.
“Jadi hujan yang mempertemukan
kalian ya Yah?”, tanya sang putri yang hanya di angguki sembari tersenyum oleh
sang Ayah.
Tiba-tiba langit terdengar menggelegar lantaran petir menyapa seolah
memberi isyarat akan turun hujan.
“Yah, sepertinya akan turun hujan
sebentar lagi, sebaiknya para tamu di suruh masuk ke dalam ruangan semua saja”,
sambil sang putri melihat keluar jendela. Ayahnya hanya tersenyum, kemudian
sang putri melanjutkan kalimatnya.
“15 menit lagi prosesi ijab qabul
akan di mulai yah, sebaiknya kita segera bersiap di ruang tengah”, sambil
hendak memapah Ayahnya tersebut, tiba-tiba Ayahnya menoleh kearah jendela
seakan memberi isyarat kepada putrinya untuk memandangi langit yang telah
menampakan mendungnya.
“Lihatlah ke langit nak, bukankah
kau menyadari bahwa ini adalah hari bahagiamu, sampai-sampai Ibumu pun turun
dari singgasananya untuk menghadiri pernikahan putrinya. Sambutlah hujan,
karena di tiap bulir tetesnya Ibumu hadir nak”, keduanya pun tersenyum memandang
langit dari balik jendela, senyuman yang paling tulus yang pernah keluar dari
mereka. Kemudian, mereka pun mulai meninggalkan ruangan itu menuju ruang
tengah, di ikuti suara rintik gerimis dan embun sejuk yang merayap di jendela.
Komentar