MEGA (Cerpen)
Kau tahu, Mega bukan berarti adalah awan yang sedang memeluk sendunya angkasa, hingga membiru pucat layaknya tirai terjamah genangan air mata. Ia hanya melayang semampai meliuk-liuk di alam penuh angan. Mencoba merangkai kalung bunga seindah khayalnya yang masih abu-abu, lalu dengan semerta menabur penuh cinta. Ia sekali lagi menari kemudian melayangkan senja. Disitu tiba-tiba muncul sang kelinci penyendiri, timbul dari balik pekarangan bunga matahari yang terhampar luas memenuhi ruang rindu. Lalu berdiri mematung menghadap arah barat daya. Lucu sekali. Sang kelinci sambil terus menggenggam wortelnya yang sehabis ia curi dari pekarangan kebun milik petani desa sebelah seperti terhipnotis dengan menjulangnya fatamorgana di depan tatap kedua bola matanya. Sungguh lucu sekali. Ia tak berkedip sedikit pun. Ia benar-benar telah terhipnotis. Ini bukan fatamorgana dengan deskripsinya yang katanya seringkali terjadi di gurun pasir yang menyerupai apa saja yang ia pantulkan. Bukan juga fatamorgana yang dengan definisinya bahwa ia adalah sebuah fenomena di mana optik yang biasanya terjadi di tanah lapang yang luas seperti padang pasir atau padang es. Lalu, apalagi dengan pengertian bahwa ialah pembiasan cahaya melalui kepadatan yang berbeda, sehingga bisa membuat sesuatu yang tidak ada menjadi seolah ada. Sungguh, dan benar-benar sungguh, walau entah sebesar apa hati yang dimiliki sang kelinci, tapi ia tetap percaya bahwa fatamorgana yang sekarang sedang ia jumpai adalah biasan indah yang nyata.
Fatamorgana ialah Mega, ini bukan Mega yang
dalam pengertian monotonnya adalah sebuah awan yang hanya bisa pasrah tertiup
sepoi angin di langit. Kelinci jumpa Mega. Mega tak menoleh sedikit pun. Aneh
sekali. Tiba-tiba tak sadar wortel sang kelinci pun terjatuh sendiri. Mungkin
hipnotisnya bekerja dengan giat sehingga kekuatan fokus otak dengan tangan yang
sedari tadi berusaha menggenggam wortel terpecahkan sudah, buyar begitu saja.
"Ini gara-gara Mega...", hmm, ini bukan ujar
sang kelinci dalam hati. Hanya layaknya sosok lain dalam diri yang telah
bersahabat dari mulai ia baru mengenal dunia.
Tetap saja, Mega tak tak terusik sedikit pun
walau bisik-bisik sudah menggema di relung jiwa. Tapi harapan sang kelinci tak
berhenti disitu saja. Seperti ada yang menepuk bahunya (tak sadar ia adalah
tadi sosok lain dalam diri yang telah bersahabat dari mulai ia baru mengenal
dunia) agar ia berlari mengejar angan itu. Tanpa pikir panjang, wortelnya yang
daritadi tergeletak di tanah ia biarkan dan tinggalkan begitu saja, berlari
sekencang-kencangnya. Hentakan langkah larinya membentang menyuara sampai
terdengar di ujung gelisah. Akhirnya Mega menoleh, sang kelinci spontan
menyetop langkah larinya. Terlihat matanya berbinar-binar. Sekali lagi ia
terhipnotis. Namun kali ini dengan derajat yang paling tinggi dalam ilmu
sugesti. Sejajar juga dengan angan yang tertawa kecil di sudut pikiran. Tetap,
masih saja dengan matanya yang berbinar-binar.
Untuk pertama kalinya ia akan mempersiapkan hati
menerima kesempatan berbincang-bincang dengan makhluk lain selain dirinya yang
ternyata lebih indah dari sosok bidadari manapun. Ia hanya bergumam dalam hati
dengan bisikan paling lembut, selembut sutera rindu yang membaluti Mega. Sebab,
untaian kalimat tanya yang Mega lontarkan padanya membuat jantungnya sontak
membuncah, bag kobaran lava yang telah menunggu bertahun-tahun keluar dari
gerbang bibir gunung merapi.
"Ada apa denganmu?".
Walau ia tak tahu untuk siapa pertanyaan itu
tertuju, tapi sang kelinci tetap menjawab dalam hati.
"Aku terkagum...", masih saja dengan mata tak berkedip
yang berbinar-binar makin berkilau.
Ternyata, tanya itu tak untuknya, sebab terlihat
sudah ada sang rajawali yang sedaritadi telah melayang-layang terbang dengan
kepakan kedua sayapnya yang gagah perkasa, mengitari Mega tak henti-hentinya.
Lalu sudah sewajarnya apabila ia terheran lalu bertanya ada apa kepada sang
rajawali itu.
Tak ada yang tahu jika ternyata dalam lubuk hati
Mega terserat sari pati berampas tanya, yang sedari sang rajawali mulai
mendekat padanya telah menggumpal pekat melumeri sisi paling peka diri. Namun,
apa gerangan yang membuatnya baru berani membulatkan tekad bertanya perihal
rasa itu pada sang rajawali. Apakah sebab tibanya sang kelinci di tengah sekuel
drama mereka yang dengan niat Mega berharap menjadi tameng tak pudar walau di
gerogoti oleh hama syahdu. Entahlah, iringan awan mendung pun tak sanggup
berspekulasi.
Masih dalam suasana dayu, dengan sosok kelinci
yang hanya tetap memilih berdiri mematung memandangi pergejolakan yang terjadi
di depan tatap kedua bola matanya. Hingga sang waktu pun rela menawarkan
bahunya tuk di sandarkan oleh gusar, kalau-kalau ketegaran tak lagi sanggup
menemani. Jadi, duduklah sang waktu di sisi kelinci. Bersama sejajar mendayukan
pandang pada ujung jalan harapan. Apakah telah usai?, sang waktu coba menelisik
dan menyelidik seberapa persenkah harap itu mulai akan membukakan gerbang selamat
datangnya. Pergilah ia jauh berkelana mencari jawabannya. Walau padahal sang
kelinci tetap setia berdiri tegak di kejauhan. Sang waktu hanya menitip pesan
tersirat padanya.
"Tunggu aku, aku akan kembali dengan sejuta bongkah
kebahagian untukmu kawan".
Tak lama waktu beranjak pergi, tak dinyana angin
coba mengusik sang kelinci. Ia hembuskan debu gelisah teriring asa yang tak
kunjung tercapai. Selagi itu, di lain sisi ternyata Mega telah sadar akan
kehadiran sang kelinci. Dengan segenap serbukan kilau-gemilaunya, Mega berusaha
kirimkan pesan padanya melalui jiwa angin paling baik lainnya. Dengan tujuan
agar sang rajawali pun segera beranjak mengemasi segala kehendaknya yang
terasingkan awan. Benar saja, tak perlu membutuhkan detik atau menit yang harus
merangkak agar mempercepat sang waktu tuk kembali, sang rajawali dengan gulita
pemberian Mega, segera saja dengan gontai meninggalkan fatamorgana nyata yang
indah itu. Mungkin, ia lelah dengan angannya sendiri mengenai biasan yang
terlalu muluk dari aura Mega paling mempesona.
Bersamaan dengan tibanya serbuk kilau Mega di
atas pundak sang kelinci, bertaburlah dedaunan musim semi di antara tatap
mereka yang makin memperindah drama ini. Seperti ada benang merah yang
menghubungkan takdir pertemuan mereka. Tinta sejarah pastinya di lain alam
sedang menggores lambai di sisi asa mereka. Agar semata perpisahan pun tak
menyisakan luka, namun mengguratkan kenangan berkilau cahaya tanpa awan mendung
yang pasrah di hembuskan gelombang rundung paling berkasta.
Maju ke bagian selanjutnya, ketika Mega sudah
mulai mengakrabkan diri dengan sosok pencuri wortel di kebun milik pak tani
desa sebelah itu. Ia sudah mulai terbiasa ketika senja bergemerisik pekarangan
bunga menghadirkan cerita bersambung. Ia tak lagi sungkan mengisahkan
perjalanan langkah eksistensinya di alam penuh luka pada sang kelinci. Mega pun
mulai tak lagi memperlihatkan ke fatamorganaannya pada sang kelinci.
“Adakah sang rajawali atau siapapun yang dapat mensejajarkan cinta
dan asaku?”, Mega mengernyitkan gemulai cahayanya, sambil berharap jawaban
penuh harap terlontar dari siapapun.
Dengan kepolosannya tanpa ragu-ragu sang kelinci
hanya dapat kembali menyodorkan wortel yang tampak setengah sisinya telah di
gerogoti oleh dirinya sendiri. Terlihat raut kilauan Mega mulai mengisyaratkan
tanya. Hingga cerita hampir menemui bagian bersambungnya, ampas itu tetap
memekatkan tanya Mega.
Dasar, memang sang kelinci kadang tak begitu
pandai berpeka diri, walau begitu hanya waktulah yang kan dapat menjawab, saat
semua jalan mimpi tercipta, sang kelinci tetap memberikan apa yang ia yakini
dan apa yang ia anggap baik untuk angan Mega agar dapat meraih angkasa. Itulah
kekuatan sang kelinci yang tak di ketahui Mega, kala jarak lima waktu merangkul
kebangkitan nafas antara bumi dan langit. Senjata yang kunjung sering di pakai
juga oleh para pendahulu ketika berjuang melawan hawa lain di semesta jiwa
paling dalam. Ialah telapak tangan ketika menengadah ke atas, menembus langit
hingga lapisan ke tujuh, lalu perlahan menghadap Dzat Abadi Yang Maha Agung.
Tak terikat waktu pula tak terikat alam. Dzat Yang dengan segala kuasa-Nya,
semua partikel-partikel berbentuk apapun pasti akan tunduk patuh. Sehingga
hidup pun memetakan hikayat paling murni manapun. Membuat hati sang kelinci
tetap memeluk erat ke tak gentaran atas tapak jalan menuju kebahagian yang
hakiki, yang ia percayai bersemayam dalam cahaya Mega.
Dan akhirnya di bagian ending ke menyerahkannya
seluruh wortel miliknya, iya betul, semua wortel miliknya, bukan lagi wortel
yang ia curi dari pak tani di kebun desa sebelah. Dengan itu semua ia berpesan
pada tatap Mega dari lubuk hati paling dalam.
“Jika ada faktor x yang membuat teks tak sepadan dengan satu
tambah satu, maka itulah kekuatanku dengan penuh keyakinan. Kala tengadah
tanganku pada-Nya selalu di temani rembulan, maka itulah bahasa bermakna jutaan
garis kisah yang ku sulam dengan namamu. Lalu ketika langkah perjuangan
mengitari selubung kalbu, maka engkaulah harapku yang terukir indah di semesta
angkasa”, sungguh, kalimat ini seluruhnya telah menggema di singgasana masa
depan.
Di gerbang penutup, ke bersambungan telah
menanti sedaritadi tuk dihampiri dan di lanjuti lain waktu. Dan ia pun berbisik
pelan.
“Berilah yang terbaik dari hati, pasti kan kau raih, walau itu
sesulit seperti menangkap angin. Tetaplah, jaga ragamu agar tak tergoyahkan”.
Akhirnya, setelah itu ia mulai menggandeng sang
kelinci keluar dari tirai yang telah perlahan menutup dirinya dari bagian kisah
yang lain. Sebab, sekuel selanjutnya yang kan menentukan alurnya adalah Mega.
Komentar