PERMATA YANG HILANG
Serpihan hati telah berserakan di tanah hampa penuh asa berwarna abu-abu kian menghitam, yang semuanya tak lagi hendak irama mengiringi, kala dahulu kenangan masih menjulang tinggi.
Ingatkah, duka itu tak abadi, ia hadir
lantaran gores-gores sayatan itu berbekas. Sesaat beberapa detik, menit, juga
jam tercerai-berai dengan tetap memikul seonggok harapan.
Ialah waktu yang dilahirkan, membisu, lalu sesaat menoleh pada permata yang kilaunya terbias tak
tentu arah. Silau, namun sekilas lenyap, hilang begitu saja. Tak dinyana, hampa
yang dirasa oleh waktu, ketika permata tak hendak lagi sebanding dengan perjuangannya selama
ini, ia berlalu begitu saja.
Sebab sudah barang tentu, serpihan hati itu adalah sisa-sisa moksa dari
dirinya. Lantas, setelah lenyap harapannya, ia hanya ingin mencoba merdeka diruang tak berdimensi. Karena sejatinya ia
cukup lelah, setelah semua eksistensinya mengarungi mimpi-mimpi penuh muluk itu sia-sia.
Walhasil, mudah saja ia mengira dirinya telah hilang melebur dengan semesta, lantaran kini permatanya pun hilang bersama sebongkah kesadaran yang berwujud nista.
Walhasil, mudah saja ia mengira dirinya telah hilang melebur dengan semesta, lantaran kini permatanya pun hilang bersama sebongkah kesadaran yang berwujud nista.
Kairo, 29 Juli 2016
Komentar